DAUN LONTAR

Karena Yadnya Yang Paling Utama adalah Pengetahuan (Jnana)

Archive for July, 2010

Gede Prama: Simfoni di dalam Diri (mengolah kemarahan menjadi keteduhan)

Posted by I Wayan Agus Eka on July 15, 2010

Gede Prama kembali hadir dengan karya barunya. Rasanya ada yang baru dalam karya beliau kali ini (atau mungkin saya yang sudah lama tidak membaca buku beliau lagi, entahlah!!!). Dalam karya terakhir ini kayaknya dorongan tulisannya berasal dari fenomena-fenomena kekerasan yang melibatkan agama dan kepercayaan. Gede prama tetap membungkusnya dengan kata-kata indah dan kutipan-kutipan dari mahakarya guru-guru di dunia ini sebagaimana tercermin dalam pembuka buku ini “if i have to choose between religion and compassion, i will choose compassion“, apabila harus memilih antara agama dengan kebaikan maka sang guru lebih memilih kebaikan.

Gd Prama pada bagian awal mengajak untuk memaknai arti kekalahan lebih mendalam. Belajar menerima kekalahan adalah langkah awal kedewasaan dan kebijaksanaan. Kalah seperti ampelas yang menghaluskan kayu yang mau menjadi patung mahal, seperti pisau tajam yang melubangi bambu yang akan menjadi seruling indah. Apa yang disebut dengan menang-kalah, hidup-mati, sukses-gagal tidaklah lebih dari sekadar putaran waktu sebagaimana halnya terbitnya matahari. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi maka terbitlah sang matahari, ketika sudah jam 6 sore maka tenggelamlah matahari, begitu pula kalah-menang, hidup-mati dsb.

Kebakaran telah melanda dunia ini. Kebakaran yang berselimutkan kemarahan tidak hanya menjadi monopoli kaum materialistis, bahkan sosok religius pun seringkali menjadi sumbernya. Api yang diolah dengan tepat justru akan kehilangan sifat membakarnya dan berganti menjadi sosok  menyejukkan. Pengolahan kemarahan melalui keluasan pandangan, doa, persahabatan dan meditasi akan mampu mengganti panasnya bara api menjadi keteduhan yang luar biasa. Unsur hidrogen adalah salah satu unsur yang sangat mudah terbakar, begitu pula dengan unsur oksigen yang memungkinkan timbulnya api, namun ketika kedua unsur ini menyatu secara sempurna maka air yang menyejukkan adalah hasilnya.

Kebahagian dan kesedihan bagai dua ujung dalam satu pendulum, semakin keras sebuah kebahagiaan dinikmati maka semakin keras pula kesedihan yang sudah menanti. Sehingga banyak guru yang kemudian membatasi pendulum emosi mereka sehingga pergerakannya terbatas. Ketika bahagia datang maka nafsu perayaan direm, ketika kesedihan juga kemudian bertamu maka stok air mata juga dibatasi.

Cerita bom bali di kuta secara apik dimaknai oleh gede prama sebagai contoh timbulnya cahaya-cahaya pemahaman. Disaat di belahan bumi lainnya setiap kemarahan dibalas dengan kemarahan, kebencian dibalas dengan kebencian namun masyarakat Bali memberi contoh kepada dunia bahwa penderitaan yang mereka alami tidak harus dibalas dengan anarkis, tidak harus dibalas dengan penyerangan atau kebencian kepada kelompok tertentu. Dimana kemarahan tidak diikuti dengan kemarahan, dendam tidak berbalas dengan dendam maupun kebencian tidak dibayar dengan kebencian maka di sanalah sedang ditaburkan bibit-bibit keagungan.

Kehidupan layaknya seperti siklus air. Dia dimulai ketika hujan turun (baca: belajar keras, bekerja keras), namun begitu menjadi sungai dia menjadi perjalanan yang lembut. Ketika kehidupan mencapai samudranya maka hanya ada dua, melakukan segala sesuatu dengan cinta dan menerima hasilnya dengan penuh keikhlasan seperti samudra yang akan menerima apapun yang diberikan kepadanya dengan tangan terbuka.

Manusia dalam perjalanan hidupnya selalu mencari perdamaian. Bibit-bibit jiwa untuk mencapai perdamaian ini adalah berupa kebaikan dan keburukan. Bukan baik buruknya yang menjadi bibit namun bagaimana dia diolah yang menjadi bibit. Kebaikan ketika diikuti dengan kesombongan dan kecongkakan hanya akan menjadi bibit yang tidak baik. Namun, keburukan kalau diikuti dengan pertobatan dan perbaikan maka niscaya akan menjadi bibit yang baik.

Di bagian akhir bukunya sang penulis mengajak kita untuk memandang seperti langit. Segala sesuatu dipandang serba baik. dalam keadaan berkecukupan maka itu adalah kesempatan untuk memberi, dalam keadaan berkekurangan maka itulah saat untuk rendah hati. Bila berumur panjang maka itulah saat dimana masih terbuka kesempatan untuk berbuat baik, bahkan ketika anda diramalkan akan segera meninggal maka itulah saat anda mendidik orang lain untuk menggantikan posisi anda. Intinya semua hal harus dipandang baik seperti langit yang memberikan ruangnya kepada semuanya. Bahkan, kita harus berterima kasih kepada orang yang menyakiti dan membenci, bukan justru menjauhinya. Orang yang menyakiti dan membenci kita sudah bekerja teramat keras, mengeluarkan tenaga yang tidak sedikit dan menanggung dosa yang besar hanya untuk membuat kita menjadi lebih sabar dan bijaksana. Semoga semua makhluk berbahagia.

I Wayan Agus Eka

Posted in Book that i've read | 13 Comments »

Agus Aris Munandar: Gajah Mada, Biografi Politik

Posted by I Wayan Agus Eka on July 8, 2010

Siapa yang tidak kenal dengan sosok yang satu ini, barangkali inilah sosok yang keterkenalannya melebihi rajanya sendiri. Sosok yang digambarkan oleh buku-buku sejarah jaman kita SD dulu sebagai orang yang gagah, besar, kuat, tegas dan sederet julukan-julukan hebat lainnya.

Dari semenjak lahirnya Gajah Mada sudah mengundang perdebatan tersendiri. Ada kitab yang menyebutkan bahwa dia adalah titisan dari Dewa Wisnu sebagai salah satu awatara. Namun, banyak juga ahli yang meyakini bahwa dia adalah salah satu keturunan pembesar Majapahit sendiri, jadi dalam darah Gajah Mada memang sudah ada darah ksatria dari kerajaan Majapahit itu sendiri.

Pemberontakan Kuti adalah peristiwa yang mengangkat nama Gajah Mada. Dia memimpin 15 orang pasukan Bhayangkara untuk mengungsikan Raja Jayanegara ke Bedander. Cukup menarik karena oleh pengarang buku ini, jumlah pasukannya yang 16 orang, kelipatan 8 (15 orang ditambah Gajah Mada sendiri) ditafsirkan sebagai dewa penjaga delapan arah mata angin yang menjaga Shiva (jayanegara) di tengah-tengahnya. Meskipun demikian, Gajah Mada kemudian dianggap juga berperan dalam pembunuhan Jayanegara yang dilakukan oleh tabib ra Tanca. Gajah Mada yang dianggap sudah mengetahui rencana pembunuhan tersebut justru membiarkannya karena Gajah Mada menganggap bahwa Jayanegara sudah tidak pantas lagi memimpin kerajaan karena sering melakukan tindakan asusila yaitu suka menganggu dan berhubungan dengan wanita-wanita yang sudah bersuami.

Kemudian di bawah pemerintahan Tribuana Tunggadewi, Gajah Mada mulai merealisasikan sumpahnya dengan menyerang Bali di empat penjuru. Penyerangan ini membawa sejumlah besar pasukan majapahit yang dipimpin beberapa Arya-Arya yang sekarang menjadi silsilah keturunan masyarakat Bali. Namun upaya penaklukan Bali ini bukannya tanpa perlawanan, adalah Ki Pasung Grigis yang menjadi duri dalam daging usaha Gajah Mada. Dia selalu berhasil meloloskan diri dan selalu memberikan perlawanan sengit kepada pasukan Majapahit. Akhirnya Gajah Mada bersiasat dengan mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Ki Pasung Grigis kemudian menyambutnya dengan suka cita. Ketika terjadi pertemuan antara keduanya, Gajah Mada kemudian mengeluarkan siasatnya, Gajah Mada meminta Ki Pasung Grigis untuk memanggil anjing hitamnya yang konon mengerti kata-kata manusia. Tanpa basa basi Ki Pasung Grigis kemudian memanggil anjing itu seraya menjanjikan makanan kepadanya, namun ketika anjing itu datang bukan makananlah yang diberikan Ki Pasung Grigis namun hanya sebuah batok kelapa. Melihat kejadian ini Gajah Mada langsung menghardik dan memaki bahwa Ki Pasung Grigis sudah melakukan perbuatan yang pantang dilakukan para ksatria. Seorang ksatria pantang mengingkari janji bahkan kepada binatang sekalipun dan perbuatan melanggar janji adalah perbuatan yang sangat rendah. Mendengar makian Gajah Mada, Ki Pasung Grigis hanya bisa berdiam diri menyadari kekeliruannya dan kemudian mengakui kekalahannya dari Majapahit.

Oh ya, satu konsep kehidupan yang saya dapat dari buku ini adalah salah satu konsep istri dalam pandangan Hindu. Bahwa pada hakikatnya istri itu adalah energi bagi suami. Konsep yang mendasari hal ini adalah konsep sakti. Kita tentu sudah paham bahwa sakti dalam salah satu definisinya juga berarti istri, sakti Dewa Siwa adalah Dewi Parwati, sakti Dewa Brahma adalah Dewi Saraswati, dll. Jadi kekuatan dari para dewa tersebut tercermin dalam saktinya/istrinya.

Tak pelak lagi, peristiwa Bubat dianggap sebagai catatan hitam seorang Gajah Mada yang menodai jasa-jasa yang sudah dia lakukan. Peristiwa yang pada awalnya merupakan prosesi pernikahan antara Raja Hayam Wuruk dengan putri kerajaan Sunda Dyah Pitaloka. Sebagai satu-satunya kerajaan di pulau Jawa yang belum mengakui kerajaan Majapahit, maka pernikahan putri Sunda ini merupakan upaya untuk memperluas pengaruh Majapahit di seluruh pulau Jawa. Namun, Gajah Mada justru meminta agar sang putri diantar kepada raja Majapahit sebagai persembahan dan bukti bahwa Sunda sudah takluk di tangan Majapahit. Permintaan inilah yang memicu pertempuran di lapangan Bubat yang akhirnya membunuh sang putri dan raja Sunda.

Tafsiran baru dalam buku ini menyebutkan bahwa bukan Gajah Mada yang menjadi penyebab utama terjadinya peristiwa berdarah di Bubat. Adalah orang tua Hayam Wuruk, Krtawardana dan TribuanaTunggadewi, yang menjadi aktor utama peristiwa ini. Orang tua Hayam Wuruk agaknya sudah berjanji kepada Rajadewi Maharajasa, adik tribuana, untuk menikahkan putrinya yang bernama Indudewi kepada Hayam Wuruk, sehingga apabila Dyah Pitaloka benar-benar akan menikah dengan Hayam Wuruk maka Indudewi hanya akan menjadi selir raja saja dan akan mengundang perpecahan di kalangan dalam keluarga raja Majapahit. Untuk mencegah hal ini maka orang tua Hayam Wuruk meminta kepada Gajah Mada agar pernikahan tersebut digagalkan dan kemudian terjadilah peristiwa Bubat.

Seandainya tafsiran itu benar maka Gajah Mada bukanlah yang bertanggung jawab dalam peristiwa Bubat tersebut, dia hanya menjalankan perintah kedua orang tua Hayam Wuruk. Namun, Gajah Mada mendapatkan getahnya sampai sekarang, dia selalu dicaci dan dimaki, bahkan dalam kidung sunda disebutkan bahwa Gajah Mada akhirnya dibenci keluarga Majapahit karena telah menggagalkan pernikahan agung Hayam Wuruk. Mungkin begitulah nasib para pahlawan, jasa-jasanya seolah-olah lenyap hanya oleh satu kesalahan yang belum tentu dia yang melakukannya. Gajah Mada juga manusia.

I Wayan Agus Eka

Posted in Book that i've read | 16 Comments »

Cinta, Cita dan Harapan

Posted by I Wayan Agus Eka on July 1, 2010

Cinta, kata ini mungkin adalah kata paling populer di dunia ini. Bahkan, sebelum kita dilahirkan di dunia inipun kita sudah mengenal kata ini, mengenal bukan dengan cara mendengar dari lingkungan namun dari apa yang orang tua kita lakukan ketika menyatukan hatinya dalam sebuah cinta sebagai suami istri. Mengenalnya tidak membutuhkan telinga, karena orang tulipun dapat merasakan, tidak membutuhkan mata karena orang butapun dapat merasakan, tidak membutuhkan kesempurnaan fisik karena orang lumpuhpun dapat merasakan, hanya dibutuhkan keterbukaan hati untuk dapat merasakan kehadirannya.

Cita adalah keinginan seseorang akan sesuatu. Dia yang menjadi adrenalin dalam setiap langkah manusia mewujudkan impiannya di dunia ini. Cita muncul dari sebuah proses pembekuan keinginan dalam alam bawah sadar seorang manusia yang selanjutnya menjadi semacam jet pendorong seseorang untuk dapat mewujudkan keinginannya itu.

Antara kata cinta dan cita hanya dibedakan oleh satu huruf  “n” saja, namun bukan berarti kedua kata tersebut tidak menyiratkan hal yang sama. Cinta dan cita merujuk ke satu kata yang sama yaitu “harapan”. Ya, harapan akan sesuatu yang pasti diinginkan setiap manusia, harapan akan adanya sesuatu yang akan diterima ketika cinta dan cita itu telah mewujud dalam kenyataan. Terus, apa yang diharapkan oleh cinta dan cita itu????tidak lain dan tidak bukan adalah kebahagiaan. Seseorang yang merasakan cinta baik dari pasangannya, keluarganya maupu temannya pasti akan merasakan kebahagiaan, begitu pula ketika cita dari seseorang tercapai maka hanya rasa bahagia yang akan dia rasakan. Berbahagialah mereka yang dapat merasakan cinta dan mencapai citanya.

Ubud, pk 16.10, 1 Juli 2010

I Wayan Agus Eka

Posted in Daily Notes | 2 Comments »