DAUN LONTAR

Karena Yadnya Yang Paling Utama adalah Pengetahuan (Jnana)

Anak itu bernama Siwa

Posted by I Wayan Agus Eka on February 19, 2011

Hari ini seperti sabtu pada minggu-minggu sebelumnya adalah saat untuk bangun agak siang, maklum selama 5 hari harus bangun pagi, jadi merasa berhak untuk bangun siang di hari sabtu, hehehehe…Tapi ketika bangun tiba-tiba langsung ada keinginan untuk tangkil sembahyang ke gunung salak, sebuah keinginan yang sebenarnya tertunda-tunda terus dengan berbagai macam alasannya. Tas ransel pun disiapkan, pakaian sembahyang dimasukkan, tidak ketinggalan satu buah buku buat bahan bacaan nanti disana.

Setelah menempuh perjalanan naik motor sekitar 2 jam dengan sekali beristirahat di bogor buat minum dan cuci muka, akhirnya tiba juga di parahyangan agung jagatkarta. Bergegas kemudian mengganti pakaian dan menuju pelataran pura untuk sembahyang. Cuacanya cukup sejuk meski nyampe sana pas jam 12 siang sehingga sembahyang bisa lebih kusyuk dan pikiranpun menjadi lebih tenang.

Selesai sembahyang seperti kebiasaan yang sudah-sudah, saya menuju ke sisi luar pura, duduk di sebuah balai kecil. Buku yang saya bawa pun saya keluarkan dan kemudian mulai membuka halamannya satu persatu. Di seberang sana kemudian muncul seorang anak laki-laki berpakaian adat sembahyang yang saya sudah tahu namanya Dharma, dia kemudian berjalan ke arah saya.

“Dik, biasanya kamu kan jualan peyek kan, skrg kok ga bawa?” tanya saya membuka obrolan

“Bawa kok kak, bentar ya.”

Bergegas dia memanggil sang adik yang juga saya sudah tahu namanya siwa

“nama kamu siwa kan dik?”

“iya kak.”

“berapa satu kripiknya?”

“lima ribu”

“kasi saya dua ya”

saya serahkan uangnya ke dia, dan kemudian mulailah saya memakan kripik itu untuk mengganjal perut karena kelupaan membawa makan siang, gpp lah, ga ada nasi kripikpun jadi. Dan, percakapan itupun dimulai

“kelas berapa dik” tanya saya

“satu smp”

“trus kakakmu kelas berapa?”

“kelas 5 sd”

ternyata meskipun berstatus sang kakak, tp kakaknya ternyata sangat disayang gurunya sehingga ga dikasi naik kelas, hehehehe, kidding

“trus skrg ga sekolah?”

“ga kak, tadi telat bangun.”

“kamu tiap hari jualan disini”

“iya”

“bawa berapa bungkus biasanya?”

“20 bungkus”

“trus, abis ga biasanya”

“kadang-kadang sih kak”

“trus, hari ini sudah laku berapa”

“dua kak”

jadi hari ini saya adalah pembeli pertamanya, kasian.

“aku itu 6 sodara kak, adikku yang paling kecil baru 4 bulan” tanpa saya tanya dia bercerita

“trus orang tua kerjanya apa”

“ya buat kue-kue aja”

“ga ada nanem-nanem apa gitu di rumah”

“nanem?lha itu tanah siapa kak!!!”

dia sekeluarga tinggal di sebuah gubug kecil yang kelihatan jelas di pinggir sebuah jembatan di jalan menuju pura. Saya langsung teringat ketika saya dulu beberapa kali melewati rumahnya setelah selesai sembahyang, di sana biasanya sang ayah ada di pinggir jalan kemudian mengatupkan tangannya seraya mengucapkan terima kasih dan selamat jalan kepada setiap umat yang sembahyang disana.

Dari seorang teman saya sedikit mengetahui kisah keluarga mereka. Mereka dahulu sebenarnya hidup berkecukupan, namun karena suatu sebab yang sayapun tidak mengetahuinya mereka kehilangan semuanya dan kemudian tinggal di tempat sekarang selama 4 tahun terakhir.

Obrolan saya dengan siwa pun berlanjut ke kegiatan dia sehari-hari. Saya pun tahu kalau uang sakunya tiap hari 5 ribu itupun harus dipotong 4 ribu untuk sewa angkot, uang spp nya 35 ribu sebulan.

Satu hal yang berkesan dari si anak bernama siwa itu adalah, di balik apa yang sering kita sebut sebagai kekurangan dia memiliki apa yang seringkali tidak kita punyai disaat kita menyebut diri kita berkecukupan. Di usianya yang masih belasan dia sudah hidup di dua periode kehidupan, dia pernah sangat berkecukupan dan skrg dia dalam keterbatasan. Namun di saat dia dan keluarganya hidup di fase terbawah seperti sekarang dia tidak kehilangan senyum, kegembiraan, kesenangan dan yang terpenting dia tidak kehilangan rasa berkecukupan atau syukur.

Di saat terpuruk tapi tetap bersyukur, ya itulah siwa, seorang anak kecil yang hari ini menemani saya hari ini dan mengisi ruang-ruang spiritual di dalam diri saya. Suksma

I Wayan Agus Eka

2 Responses to “Anak itu bernama Siwa”

  1. gede yudi said

    iya bli, saia kalo ke gunung salak pasti ketemu salah satunya….
    biasanya ntar kalo pulang malem dari pura, biasanya ikutan pulang kerumahnya….
    sudah sering ngayah dipura…
    kalah saia…

Leave a comment